Hujan Salju di Musim Kemarau

Posted by praftiwi on Tuesday, September 27, 2011

Hujan Salju di Musim Kemarau

Asyhadualailahailallah waasyhaduannamuhammadanrasulullah. Ini hanya sebuah tulisan dalam waktu senggang yang diisi kegundahan. Semoga kesalahan redaksi didalamnya di ampuni dengan rahmatNya.

***

Tuhan, lampu ini temaram, bisakah ku dapat yang lebih terang? Aku harus berjalan malam ini dan aku sudah buta dalam melihat bintang. Tuhan, aku sedang mengeluh padaMu. Aku malu, aku malu karena terus mengeluh padaMu. Tapi aku lebih malu saat mengingat keluh kesahku pada makhlukMu.

Tuhan, tuntun aku. Tuntun aku keluar dari sini. Gelap sekali, aku sudah tidak tahan lagi.

***

Tuhan, kenapa aku harus berjalan sendiri? Bagaimana kalau ada binatang buas nanti? Tidakkah Kau lihat mataku sudah basah dan perih? Pada malam segelap ini teganya Kau biarkan ku berjalan sendiri.

Sesaat tak sanggup ku berkata lagi, seperti sebuah bisikan menelayang ke telingaku.

“kau terus berkeluh kesah pada TuhanMu sepanjang jalan ini. Terus saja kau bilang kau sendiri. Tidak kah kau sadar sepanjang jalan kau terus berkata-kata meminta perhatian padaNya. Tanyakanlah pada tetumbuhan disekelilingmu, mereka pun mungkin telah lelah mendengarkanmu. Tapi masih saja kau bilang merasa sendiri. Sekecil itukah Tuhan bagimu?”

Dadaku sesak kemudian, ku genggam erat lampu digenggamanku.

***

Tuhan, sudah berapa lama aku berjalan? Penunjuk waktu pun aku tak punya. Dan sudah ku katakan aku sudah tidak mampu membaca bintang.

Tuhan, apa yang dahulu aku pikirkan hingga aku berada dalam perjalanan ini sekarang? Tuhan, aku bingung.

***

Lelah aku berlari dalam kegelapan dan ketakutan menghindari pemangsa, dan kakiku terjerat, tidak hanya itu, malah sekarang kakiku terperosok ke dalam sini.

Aku tercebur dalam telaga kering yang gelap. Akankah ada seorang yang membantuku keluar dari sini Tuhan? Mmm..maksudku kan Kau kirim siapa begitu?

Waktu demi waktu berlalu.

Terjerembab yang menyakitkan. Tidakkah Kau lihat aku begitu tenangnya meminta padaMu dan aku dalam keyakinan kau akan menyelamatkan aku. Kau kan maha mendengar!

“hei angkuh! pongah sekali kau berteriak dibawah sana. Dan begitu  kau sombongkan dirimu dekat pada Tuhan! Anggunnya Tuhan yang mencintaimu tanpa alasan. Tapi lihat dirimu! Kau sudah merasa paling suci sedunia. Tidak kah kau ingat ajaran nabimu?”

“heiiii pemuda kecil, kenapa kau malah beranjak dari sana? Tidak bisakah kau menolongku dulu? Heeiii!!!!!! Ayolah, akan ku beri sekeping emas jika kau menolongku”

Lupakan, teriakanku tidak mau didengarnya. Seorang yang berlalu justru mendengar kepongahanku padaMu. Bodohnya aku yang terpaku diam dan hanya berkeluh.

Apa berjam-jam aku tidak menggunakan inderaku? Ampuni aku Tuhan. Kau hanya mengujiku di dalam sini. Kau mengujiku, pun jalan keluar telah Kau beri sedari Kau mempermulakannya. Ampuni aku Tuhan, ampuni aku.

Tidak ada cinta dan kasih sebesar diriMu.

***

Tuhan.. rasanya aneh ketika aku tidak mampu menikmati simphoni yang Kau ciptakan, sedang dulu aku mengagumi alunannya. Aku tidak mengerti kenapa sekarang aku tidak menikmati kicauan burung di pagi buta ini. Tuhan, aku ingin segera melihat matahari.

Ada kala matahari begitu menyilaukan dan aku merindu rembulan. Tapi saat ini aku baru akan tenang terlelap jika mataku telah melihat sangsaka merona dari ufuk timur itu.

Tuhan, segerakan langkahku. Segerakan tiba dimanapun asalkan dipenuhi keramaian. Aku sudah bosan berlalu pada alam yang tidak mampu ku cerna maksud bahasa mereka.

Ntahlah sepertinya emosi sedang menyeruap dijantungku, hingga tasbihan merdu mereka kepadaMu tidak mampu kunikmati.

Segerakan aku Tuhan, segerakan jalanku pada suatu jalan oh Tuhan. Aku ingin bercerita.

***

Kau lihat pohon disana itu? sebuah pohon dengan ranting-ranting yang telah kering berada diantara pegunungan hijau.

Makhluk bodoh, tidak pintar mengambil nutrisi yang berlimpah sedang disekelilingnya subur menghijau.

Kau tidak bertanya pendapatku tentang pohon itu?

Kau tidak mungkin memintaku memperhatikannya jika itu tidak istimewa bagimu.

Pemandangan yang paling merefleksikan ketenangan. Dia kokoh sendiri dalam masa ketidakberdayaannya. Mencolok dengan perbedaannya, tidak mengeluh dan tetap mempertahankan ranting-ranting tuanya. Pemandangan terindah ketika bersatu dengan pantulan matahari dari kaki horizon.

Ah, lihat anak-anak kecil disana!

Kau menyukai anak kecil?

Menurutmu? Aku menginginkan memiliki mereka. Kau mau membantuku membuatnya?

Kau sadar dengan yang barusan kau ucapkan? Pesakitan, wanita tidak waras.

Hahaha, kau pikir aku murahan? Aku masih memiliki Tuhan dihatiku. Harga diriku tidak serendah itu.

Bagaimana kalau aku turuti kemauanmu tadi? Itu bumerang bagimu, berhati-hatilah dengan kata-katamu.

Tidak. Aku percaya padamu. Aku mampu membaca matamu. Kau masih menjunjung Tuhan dihatimu.

Bodoh. Kau menceracau soal Tuhan, seolah kau mengerti segalanya. Perempuan sok tau!

Aku percaya kau, dan aku menjunjung pencipta kita yang menyaksikan perbincangan ini.

Kau bawa-bawa nama Tuhan, tidakkah kau sadar tingkah dan perkataanmu tidak menunjukan penjagaanmu atas kepatuhan pada perintahNya.

Tuhan tidak melarangku mencintaiNya, aku bebas menyebut namaNya.

Kenapa kau ingin mempunyai anak?

Aku ingin melihat pewarisan kecantikanku.

Perjalanan telah membawamu pada kedekilan namun kuakui rona kecantikan itu ada wahai wanita. Tapi kasihan sekali, hanya ambisi. Ambisi arogan seorang wanita tragis.

Karena Tuhan maha kasih, maka itu aku ingin memiliki mereka.

 To be continued>>



blog comments powered by Disqus
tinggalkan komentar yaaa ^_^




Make a free website with Yola